Amsalul Qur'an
BAB I
PENDAHULUAN
Hakikat-hakikat yang tinggi makna dan tujuannya akan lebih
menarik jika dituangkan dalam kerangka ucapan yang baik dan mendekatkan kepada
pemahaman, melalui analogi dengan sesuatu yang telah di ketahui secara yakin. Tamsil (membuat permisalan, perumpamaan)
merupakan kerangka yang dapat menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup
dan mantap di dalam pikiran, dengan cara menyerupakan sesuatu yang gaib dengan
yang hadir, yang abstrak dengan yang konkrit, dan dengan menikan sesuatu dengan
hal yang serupa. Betapa banyak makna yang baik, di jadikan lebih indah, menarik
dan mempesona oleh tamsil. Karena itulah maka tamsil lebih dapat
mendorong jiwa untuk menerima makna yang dimaksudkan dan membuat akal merasa
puas dengannya. Dan tamsil adalah salah satu uslub Qur’an dalam
mengungkapkan berbagai penjelasan dan segi-segi kemukjizatannya.
Di antara para ulama ada sejumlah orang menulis sebuah kitab
yang secara khusus membahas perumpamaan-perumpamaan (amsal) dalam
Qur’an, dan adapula yang hanya membuat satu bab mengenainya dalam salah satu
kitab-kitabnya. Sekelompok pertama, misalnya Abul Hasan
al-Mawar. Sedang kelompok kedua,
antara lain, as-Suyuti dalam al-Itqan dan
Ibnul Qayyim dalam A’lamul Muwaqqi’in. Bila kita meneliti amsal
dalam Qur’an yang mengandung penyerupaan (Tasybih) sesuatu dengan hal serupa lainnya
dan penyamaan antara keduanya dalam hukum, maka amsal demikian mencapai
jumlah lebih dari empat puluh buah.
BAB II
Pembahasan
A.
DEFINISI AMSAL
Amsal adalah bentuk jamak dari masal. Kata masal, misl dan masil adalah sama dengan syabah, syibh dan syabih,
baik lafadz maupun maknanya.
Dalam sastra masal adalah suatu ungkapan perkataan yang
dihikayatkan dan sudah populer dengan maksud menyerupakan keadaan yang terdapat
dalam perkataan itu dengan keadaan sesuatu yang karenanya perkataan itu
diucapkan. Maksudnya, menyerupakan sesuatu (seseorang, keadaan) dengan apa yang
terkandung dalam perkataan itu. Misalnya, رب ؤمية غير زام
)betapa banyak lemparan panah yang
mengena tanpa sengaja). Artinya, betapa banyak lemparan panah yang mengenai
sasaran itu dilakukan seorang pelempar yang bisanya tidak tepat lemparannya.
Orang pertama yang mengucapkan masal
itu adalah al-Hakam bin Yaqus an-Nagri. Masal ini ia katakan kepada orang yang
biasanya berbuat salah yang kadang-kadang ia berbuat benar. Atas dasar ini,
masalah harus mempunyai maurid
(sumber) yang kepadanya yang sesuatu yang lain diserupakan.
Kata masal, digunakan pula untuk menunjukkan arti “keadaan”
dan kisah yang menakjubkan”. Dengan pengertian inilah ditafsirkan kata-kata “masal”
dalam sejumlah besar ayat. Misalnya firman Allah:
مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ
الْمُتَّقُونَ فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ ءَاسِنٍ وَأَنْهَارٌ
“(Apakah) masal surga yang didalamnya ada sungai-sungai dari air yang
tiada berubah rasa dan baunya…” (Muhammad [47]:15). Maksudnya, kisah dan
sifat surga yang sangat mengagumkan.
Zamakhsyari telah mengisyaratkan akan ketika arti ini dalam
kitabnya, al-Kasysyaf. Ia
berkata: masal menurut asal perkataan mereka berarti al-misl dan an-nazir
(yang serupa, sebanding). Kemudian setiap perkataan yang berlaku, populer, yang
menyerupakan sesuatu (orang, keadaan dan sebagainya) dengan “maurid” (atau apa
yang terkandung dalam) perkataan itu disebut masal. Mereka tidak menjadikan
sebagai masal dan tidak memandang pantas untuk dijadikan masal yang layak
diterima dan dipopulerkan kecuali perkataan yang mengandung keanehan dari
beberapa segi. Dan, katanya lebih lanjut, “masal” dipinjam (dipakai secara
pinjaman) untuk menunjukkan keadaan, sifat atau kisah jika ketiganya dianggap
penting dan mempunyai keanehan.
Dengan demikian, maka amsal
Qur’an tidak dapat diartikan dengan arti etimologi, asy-syabih da an-nazir.
Juga tidak dapat diartikan dengan pengertian yang disebutkan dalam
kitab-kitabkitab kebahasaan yang dipakai oleh para pengubah masal-masal, sebab amsal Qur’an bukanlah
perkataan-perkataan yang dipergunakan untuk menyerupakan sesuatu dengan isi perkataan itu. Juga tidak dapat
diartikan dengan arti masal menurut ilmu Bayan, karena di antara amsal Qur’an ada yang bukan isti’arah dan penggunaannya pun tidak
begitu populer. Oleh karena itu maka definisi terakhir lebih cocok dengan
pengertian amsal dalam Qur’an.
Yaitu, menonjolkan makna dalam bentuk (perkataan) yang menarik dan padat serta
mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih ataupun perkataan bebas (lepas, bukan tasybih).
Ibnu Qayyim mendefinisikan amsal al-Qur’an dengan “menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang
lian dalam hal hukumnya, dan mendekatkan sesuatu yang abstrak (ma’qul) dengan
yang indrawi (konkrit, mahsus), atau mendekatkan salah sati dari dua mahsus
dengan yang lain dan menganggap salah satunya itu sebagai yang lain.”
Lebih lanjut ia mengemukakan sejumlah contoh. Contoh-contoh
tersebut sebagian besar berupa penggunaan tasybih sarih, seperti firman Allah:
إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu,
adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit.” (Yunus [10]: 24). Sebagian lagi
berupa penggunaan tasybih dimni
(penyerupaan secara tidak tegas, tidak langsung), misalnya:
وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ
بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا
فَكَرِهْتُمُوهُ
“Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing
sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.”
(al-Hujarat [49]: 12). Dikatakan dimni karena dalam ayat ini tidak terdapat
tasybih sarih. Dan ada pula yang tidak mengandung tasybih maupun isti’arah,
seperti firman-Nya:
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ
اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ
الذُّبَابُ شَيْئًا لَا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ
وَالْمَطْلُوبُ(73)
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka
dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain
Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka
bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka,
tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang
menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (al-Hajj [22]:73).
Firman-Nya, “Sesungguhnya segala apa
yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat
pun” oleh Allah disebut dengan masal padahal di dalamnya tidak terdapat
isti’arah maupun tasybih.
B.
MACAM-MACAM
AMSAL DALAM AL-QUR’AN
Amsal dalam al-Qur’an, ada tiga macam: amsal mausarrahah, amsal kaminah dan amsal mursalah.
1 .
Amsal musarrahah, ialah yang di dalamnya dijelaskan dengan lafadz
masal atau sesuatu yang menunjukkan tasybih.
Amsal seperti ini banyak
ditemukan dalam Qur’an dan berikut ini beberapa di antaranya:
a) . Firman Allah mengenai orang munafik:
مَثَلُهُمْ
كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ
اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ(17)صُمٌّ بُكْمٌ
عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ(18)أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ
وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي ءَاذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ
حَذَرَ الْمَوْتِ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ(19)يَكَادُ الْبَرْقُ
يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُمْ مَشَوْا فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ
عَلَيْهِمْ قَامُوا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(20)
“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka
setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari)
mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka
tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).
atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap
gulita, guruh dan kilat…” sampai dengan “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (al-Baqarah
[2]: 17-20).
Di dalam ayat-ayat ini Allah membuat dua perumpamaan (masal)
bagi orang munafik; masal yang berkenaan dengan api (nari) dalam firman-Nya, “adalah seperti orang yang menyelakan
api...”, karena di dalam api terdapat unsur cahaya; dan masal yang berkenaan
dengan air (ma’i), “atau
seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit...”, karena di dalam
air terdapat materi kehidupan. Dan wahyu yang turun dari langit pun bermaksud
untuk memerangi hati dan menghidupkannya. Allah menyebutkan juga kedudukan dan
fasilitas orang munafik dalam dua keadaan, di satu sisi mereka bagaikan orang
yang menyalakan api untuk penerangan dan kemanfaatan mengingat mereka
memperoleh kemanfaatan materi dengan sebab masuk Islam. Namun di sisi lain
Islam tidak memberikan pengaruh “nur”-Nya terhadap hati mereka karena Allah
menghilangkan cahaya (nur) yang ada di dalam api itum “Allah menghilangkan
cahaya (yang menyinari) mereka”, dan membiarkan unsur “membakar” yang ada
padanya. Inilah perumpamaan mereka yang berkenaan dengan api.
Mengenai masal mereka yang berkenaan dengan air (ma’i), Allah menyerupakan mereka
dengan keadaan orang yang ditimpa hujan lebat yang disertai gelap gulita, guruh
dan kilat, sehingga terkoyaklah kekuatan orang itu dan ia meletakkan jari
jemari untuk menyumbat telinga serta memejamkan mata karena takut petir menimpanya.
Ini mengingat bahwa Qur’an dengan segala peringatan, perintah, larangan dan
khitabnya bagi mereka tidak ubahnya dengan petir yang turun sambar-menyambar.
b) Allah menyebutkan pula dua macam
masal, ma’i dan nari, dalam surat ar-Ra’d, bagi yang hak dan batil:
أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا
وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ
زَبَدٌ مِثْلُهُ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا
الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي
الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ(17)
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di
lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengeambang.
Dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau
alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat
perumpamaan, masal (bagi) orang yang benar dan yang batil. Adapun buih itu,
akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya; adapun yang memberi
manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan.” (ar-Ra’d[13]:17).
Wahyu yang diturunkan Allah dari langit untuk kehidupan hati
diserupakan dengan air hujan yang diturunkan-Nya untuk kehidupan bumi dengan
tumbuh-tumbuhan. Dari hasil diserupakan dengan lembah. Arus air yang mengalir
di lembah, membawa buih dan sampah. Begitu pula hidayah dan ilmu bila mengalir
di hati akan berpengaruh terhadap nafsu syahwat, dngan menghilangkannya. Inilah
masal ma’i dalam firman-Nya,
“Dia telah menurunkan air (hujan) dari langit…”. Demikianlah Allah membuat
masal bagi yang berhak dan yang batil.
Mengenai masal nari,
dikemukakan dalam firman-Nya, “Dan
dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api…” Logam, baik emas, perak,
tembaga maupun besi, ketika dituangkan ke dalam api, maka api akan
menghilangkan kotoran, karat, yang melekat padanya, dan memisahkannya dari
substansi yang dapat dimanfaatkan, sehingga hilanglah karat itu dengan sia-sia.
Begitu pula, syahwat akan dilemparkan dan dibuang dengan sia-sia oleh hati
orang mukmin sebagaimana arus air menghanyutkan sampah atau api
melemparkan karat logam.
2.
Amsal
Kaminah, yaitu yang di dalamnya tidak
disebutkan dengan jelas lafaz tamsil
(pemisalan) tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah, menarik, dalam
kepadatan redaksinya, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada
yang serupa dengannya. Untuk masal ini mereka mengajukan sejumlah contoh, di
antaranya:
a. Ayat-ayat yang senada dengan
perkataan خَيْرٌ اْْلأُمُوْرِ اْلوُسْطَ (sebaik-baik urusan adalah pertengahannya), yaitu:
1) Firman-Nya mengenai shalat:
وَلَا
تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ
سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam
shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara
kedua itu" (al-Isra’ [17]:110),
2) firman-Nya mengenai infaq:
وَلَا
تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ
فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya.”
(al-Isra’ [17]: 29).
b. Ayat yang senada dengan perkataan: لَيْسَ اْلخَيَرُ كَاْلمُعًايَنَةِ (Kabar itu tidak sama
dengan menyaksikan sendiri). Misalnya firman Allah tentang Ibrahim:
قَالَ
أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي
“Allah berfirman: “apakah kamu belum percaya?
Ibrahim menjawab: saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati
saya,” (al-Baqarah [2]: 260).
c. Ayat yang senada dengan perkataan: كاَتَدِيْنُ تُدًانُ (sebagaimana
kamu telah menghutangkan, maka kamu akan dibayar). Misalnya:
مَنْ
يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا
وَلَا نَصِيرًا
“Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya
akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.” (an-Nisa’ [4]:123)
d. Ayat yang senada dengan perkataan لايلدغ المؤمن من جحر مرّتين (orang mukmin
tidak akan disengat dua kali dari lubang yang sama). Misalnya firman melalui
lisan Ya’kub:
قَالَ
هَلْ ءَامَنُكُمْ عَلَيْهِ إِلَّا كَمَا أَمِنْتُكُمْ عَلَى أَخِيهِ مِنْ
قَبْلُ
“Bagaimana aku mempercayakannya (Benyamin)
kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada
dahulu.” (Yusuf [12]: 64)
3. Amsal Mursalah, yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan
lafaz tasybih secara jelas. Tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai masal.
Berikut
ini contoh-contohnya:
a. "Sekarang ini jelaslah kebenaran itu.” (Yusuf [12]:51).
قُلْنَ
حَاشَ لِلَّهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ مِنْ سُوءٍ
b. “Kamu kira mereka tidak bersatu sedang hati mereka berpecah belah.”
(al-Hasyr [59]:14)
تَحْسَبُهُمْ
جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى
Para ulama berbeda pendapat tentang ayat-ayat yang mereka
namakan amsal mursalah ini, apa atau bagaimana
hukum mempergunakannya sebagai masal?
Sebagian ahli ilmu memandang hal demikian sebagai telah
keluar dari adab Qur’an. Berkata ar-Razi ketikan menafsirkan ayat, “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.”
(al-Kafirun [109]:6): “Sudah menjadi tradisi orang, menjadikan ayat ini sebagai
masal (untuk membela, membenarkan perbuatannya – peny,) ketika ia meninggalkan
agama, padahal ini demikian tidak benarkan. Sebab Allah menurunkan Qur’an bukan
untuk dijadikan masal, tetapi untuk direnungkan dan kemudian diamalkan isi
kandungannya.”
Golongan lain berpendapat, tak ada halangan bila seseorang
mempergunakan Qur’an sebagai masal dalam keadaan sungguh-sungguh. Misalnya, ia
sangat merasa sedih dan berduka karena tertimpa bencana, sedangkan sebab-sebab
tersingkapnya bencana itu telah terputus dari manusia, lalu ia mengatakan, “Tidak ada yang menyingkapkannya selain dari
Allah.” (an-Najm [53]:58). Atau ia diajak bicara oleh penganut ajaran
sesat yang berusaha membujuknya agar mengikuti ajarannya itu, maka ia menjawab:
“Untukmulah agamamu dan untukmulah
agamaku.” (al-Kafirun [109]:6). Tetapi berdosa besarlah seseorang yang
dengan sengaja berpura-pura pandai lalu ia menggunakan Qur’an sebagai masal,
sampai-sampai ia terlihat bagai sedang senda-gurau.
C. FAEDAH-FAEDAH AMSAL AL-QUR’AN
1.
Menonjolkan sesuatu ma’qul (yang hanya bisa dijangkau
akal, abstrak) dalam bentuk konkrit yang dapat dirasakan indra manusia,
sehingga akal mudah menerimanya; sebab pengertian-pengertian abstrak tidak akan
tertanam dalam benak kecuali jika ia dituangkan dalam bentuk inderawi yang dekat
dengan pemahaman. Misalnya Allah membuat masal bagi keadaan orang yang
menafkahkan harta benda riya’, di mana ia tidak akan mendapatkan pahala sedikit
pun dari perbuatannya itu,
فَمَثَلُهُ
كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا
يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ
الْكَافِرِينَ
“Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada
tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadikan ia bersih (tidak
bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan.”
(al-Baqarah [2]:264).
2.
Menyingkapkan hakikat-hakikat dan
mengemukakan sesuatu yang tidak tampak seakan-akan sesuatu yang tampak.
Misalnya:
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
“Mereka yang memakan (mengambil) riba tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran
(tekanan) penyakit gila.” (al-Baqarah [2]: 275)
3.
Mengumpulkan makna yang menarik lagi
indah dalam ungkapan tang padat, seperti amsal
kaminah dan amsal mursalah
dalam ayat-ayat di atas.
4.
Mendorong orang yang diberi masal
untuk berbuat sesuai dengan isi masal, jika ia merupakan sesuatu yang disenangi
jiwa.
5.
Menjauhkan (tanfir, kebalikan no 4), jika isi masal berupa sesuatu yang
dibenci jiwa. Misalnya firman Allah tentang larangan bergunjing:
تَجَسَّسُوا
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ
أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
“Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing
sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.”
(al-Hujarat [49]:12)
6.
Untuk memuji orang yang diberi
masal.
7.
Untuk menggambarkan (dengan masal
itu) sesuatu yang mempunyai sifat yang dipandang buruk oleh orang banyak
8.
Amsal lebih berpengaruh pada jiwa, lebih
efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan
lebih dapat memuaskan hati. Allah banyak menyebut amsal di dalam al-Qur’an untuk peringatan dan pelajaran. Ia
berfirman:
وَتِلْكَ
الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada
yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (al-Ankabut [29]:
43)
Nabi
juga membuat masal dalam haditsnya. Demikian juga pada da’i yang menyeru
manusia kepada Allah mempergunakannya di setiap masa untuk menolong kebenaran
dan menegakkan hujjah. Para pendidik pun mempergunakannya dan menjadikannya
sebagai media untuk menjelaskan dan membangkitkan semangat, serta sebagai media
untuk membujuk dan melarang, memuji dan mencaci.
D. Amsal Al;qur’an dalam Pendidikan
Allah
mengemukakan dalam kitab-Nya yang mulia bahwa ia membuat sejumlah amsal:
لَوْ
أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْءَانَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا
مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ(21)
“Dan perumpamaan-perumpamaan itu dibuat-Nya
untuk manusia supaya mereka berpikir.” (al-Hasyr [59]:
وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا
لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ(43)
“Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat
untuk manusia; dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”
(al-Ankabut [29]: 43)
وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي
هَذَا الْقُرْءَانِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ(27)
“Dan sungguh kami telah membuat bagi manusia
di dalam Qur’an ini setiap macam perumpamaan supaya mereka mendapat pelajaran.”
(az-Zumar [39]: 27),
Dari Ali diriwayatkan, Rasulullah SAW berkata:
“Sesungguhnya Allah menurunkan Qur’an sebagai
perintah dan larangan, tradisi yang telah lalu dan perumpamaan yang dibuat”
Sebagaimana para ulama menaruh perhatian besar terhadap amsal qur’an, mereka menaruh
perhatian pula terhadap amsal
yang dibuat oleh Nabi. Abu Isa at-Tirmidzi telah membuat satu bab berisi amsal Qadi Abu Bakar Ibnul ‘Arabi
berkata: “Aku tidak melihat di antara para ahli hadis, seseorang yang menulis
satu bab khusus tentang amsal
Nabi selain Abu Isa. Sungguh sangat mengagumkan ia! Ia telah membuka sebuah
pintu dan membangun sebuah istana atau rumah. Sekalipun ia menulisnya hanya
sedikit, namun kita merasa puas dan patut berterima kasih kepadanya”.
Ayat-ayat yang diatas ini menjelaskan tentang Perumpamaan
orang-orang yang menggunakan akalnya,ilmunya,pikirannya,kecerdasannya dan
ruhnya dalam perkara-perkara dunuawi untuk selain allah adalah seperti keledai
yang mengangkut kotoran dari tempat-tempat pembuangan.
Contoh Perumpaman-perumpamaan yang lain adalah Perumpamaan
orang yang menyembah Allah tanpa pengetahuan seperti pedagang yang tidak mengetahui
barang dagangannya,yakni tidak mengetahui harganya,inti-intinya dan nilainya.
BAB III
PENUTUP
Amsal adalah bentuk jamak dari masal. Kata masal, misl dan masil adalah sama dengan syabah, syibh dan syabih,
baik lafadz maupun maknanya. Amsal
dalam al-Qur’an, ada tiga macam: amsal
mausarrahah, amsal kaminah
dan amsal mursalah.
Tamsil (membuat permisalan, perumpamaan)
merupakan kerangka yang dapat menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup
dan mantap di dalam pikiran, dengan cara menyerupakan sesuatu yang gaib dengan
yang hadir, yang abstrak dengan yang konkrit, dan dengan menganalogikan sesuatu
dengan hal yang serupa. Betapa banyak makna yang baik, di jadikan lebih indah,
menarik dan mempesona oleh tamsil.
Karena itulah maka tamsil lebih
dapat mendorong jiwa untuk menerima makna yang dimaksudkan dan membuat akal
merasa puas dengannya. Dan tamsil
adalah salah satu uslub Qur’an dalam mengungkapkan berbagai penjelasan dan
segi-segi kemukjizatannya.
Dengan amsal (perumpamaan) yang
terdapat dalam al-Quran, apa saja yang terdapat di dalam al-Quran baik itu
perintah, larangan, contoh yang baik maupun yang buruk agar manusia mudah
mengingatnya karena gambarannya dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Manusia diajak untuk memahami konsep yang abstrak secara mudah dengan cara
memperhatikan konsep yang lebih konkret yang dapat diindrai. Dengan perumpamaan
dan perbandingan, pikiran manusia akan terlatih untuk beranalogi agar mendapat
kesimpulan yang benar. Serta dengan perumpamaan-perumpamaan itu yang paling
penting dapat mengambil pelajaran dari amsal tersebut.
Amsal dapat dimanfaatkan sebagai
materi dan metode pengajaran oleh guru dalam proses belajar mengajar. Selain
sebagai materi dan metode dapat dimanfaatkan sebagai media untuk lebih
memperjelas pemahaman, membangkitkan semangat, membujuk, melarang, memuji, dan
tujuan-tujuan pedagogis lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
·
Al-qattan, Manna’ Khalil.2009. ”Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an” Bogor: PT.Pustaka Likera Antarnusa,Halim Jaya.
Komentar
Posting Komentar